tri hita karana

Tri Hita Karana – Tentang Hidup yang Tidak Harus Ribut

Di sebuah pagi di Bali, ketika embun belum benar-benar hilang dari dedaunan, dan suara ayam jantan masih bersahut dari kejauhan, hidup seperti mengambil napas pelan. Tak bersaing. Tak gaduh. Di tanah ini, ada sebuah filosofi tua yang tak lekang oleh zaman, Tri Hita Karana — tiga jalan menuju kebahagiaan. Bukan kebahagiaan yang ramai, tapi yang hening. Yang datang dari seimbangnya hidup.

Parahyangan – Hubungan Manusia dengan Yang Ilahi

parahyangan - tri hita karana

Bali mengajarkan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan tidak selalu harus lantang. Kadang, cukup dengan hening. Masyarakat Bali yang beragama hindu biasa meletakkan bunga kecil di atas canang, dengan duduk diam di pura, atau sekadar menunduk ketika matahari kembali ke ufuknya. Masyarakat yang beragama Islam pun tak luput untuk melangitkan doa sambil menadahkan tangan berbisik kepada semesta. Begitu pula dengan agama lainnya, setiap insan membutuhkan sang pencipta untuk mengadu dan berharap kasih dan sayang dari-Nya.

Doa tidak selalu berbunyi.
Kadang ia hanya rasa—yang mengalir seperti air di telapak tangan.
Diam, tapi mengisi.
Sunyi, tapi sampai.

Di Bali, parahyangan adalah cara manusia untuk tidak merasa paling besar. Untuk kembali pada tanah, pada langit, pada kekuatan yang tak terlihat, namun terasa. Di Bali, semua hal besar dimulai dari kesadaran kecil: bahwa kita tidak sendiri.

Baca Juga : Tepi Laut, Tepi Diri – Tentang Ombak, Waktu, dan Manusia yang Belajar Melepaskan

Pawongan – Hubungan Manusia dengan Sesama

sesama manusia - filosofi tri hita karana

Hidup tidak perlu riuh agar bermakna. Kadang, dalam sapaan lembut di jalan desa, dalam gotong royong yang tidak diumumkan di media sosial, ada rasa saling yang tulus. Pawongan mengajarkan bahwa kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Tapi untuk menyambung, bukan memutus. Merangkul, bukan menonjolkan.

Di banjar, orang-orang berkumpul bukan karena undangan formal, tapi karena rasa. Rasa bahwa hidup akan lebih ringan jika dibagi. Rasa bahwa kebersamaan bukan proyek, tapi napas.

Ada tawa yang tidak ditonton,
Ada tangan yang menolong tanpa perlu tahu siapa.
Di sanalah hidup terasa penuh,
Tanpa harus menjadi siapa-siapa.

Baca Juga : Taman Beji Griya – Di Antara Air Terjun dan Doa yang Mengalir

Palemahan – Hubungan Manusia dengan Alam

tri hita karana - selaras dengan alam

Bali tidak membangun sembarangan. Ada aturan yang mengikuti arah mata angin, bentuk tanah, dan roh alam. Karena Palemahan bukan soal konservasi modern, tapi kesadaran purba: bahwa manusia hanya menumpang. Bahwa alam bukan milik, tapi rumah.

Sawah tidak hanya tempat bertani. Ia adalah cermin. Gunung tidak hanya tinggi. Ia adalah guru. Dan laut? Laut adalah tempat pulang, sekaligus mengingatkan bahwa semua yang keras pun bisa luluh jika terus digerus oleh waktu.

Bahkan dalam kesederhanaan sistem subak, terdapat harmoni. Air dibagi bukan hanya demi keadilan, tapi demi kehidupan. Tidak ada yang serakah, karena semua mengerti: air yang ditahan terlalu lama akan jadi banjir.

Baca Juga : Taman Ujung Karangasem – Jejak Peristirahatan Keluarga Raja

Hidup yang Tidak Perlu Ribut

tenang - hidup gak harus selalu ribut

Tri Hita Karana bukan teori. Ia adalah cara hidup yang tidak memaksa dunia untuk mendengar. Tapi cukup hadir. Seperti senyum petani di pagi hari. Seperti angin yang lewat tanpa suara tapi membawa dingin.

Di dunia yang sibuk mencari, Bali mengajarkan untuk berhenti sejenak. Untuk duduk. Mendengar. Merasa. Bukan karena menyerah, tapi karena sadar—bahwa hidup tak perlu ribut untuk menjadi dalam.

Hidup tidak butuh panggung,
Ia hanya butuh ruang untuk bernapas.
Tidak untuk tampil,
Tapi untuk tumbuh.

Baca Juga : POV: Mudik dari Bali ke Kampung Halaman

Pelajaran dari Tanah yang Tenang

tanah yang tenang - pagi yang indah di kampung halaman

Tri Hita Karana adalah ajakan untuk menyeimbangkan. Bukan menaklukkan. Ini bukan tentang Bali saja. Tapi tentang setiap manusia yang ingin hidup lebih selaras. Dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam.

Dan mungkin, di saat dunia semakin berisik, filosofi ini justru terasa semakin relevan. Bukan untuk melawan keramaian, tapi untuk menemukan sunyi yang menyembuhkan di dalamnya.


Ingin berlibur di Bali untuk menemukan ketenangan diri? Temukan tiket pesawat termurah dan promo hotel yang ramah di kantong hanya di seindo travel.

More From Author

tepi laut bali

Tepi Laut, Tepi Diri – Tentang Ombak, Waktu, dan Manusia yang Belajar Melepaskan

taksu

Taksu – Ketika Sesuatu Punya Roh yang Tak Terucap

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *