Di sini, langit tak bicara keras, Tapi ia menyimpan ratusan kisah. Tentang raja yang menepi dari dunia, Dan taman yang tak pernah benar-benar mati.
Di Bali yang kini dikenal karena pantai dan pesta, masih ada ruang yang sunyi—ruang yang menahan waktu agar tak berlari terlalu cepat. Taman Ujung Karangasem, atau Taman Soekasada Ujung, adalah bukti bahwa keindahan sejati tak selalu harus bersuara. Terletak di Kabupaten Karangasem, taman ini berdiri sebagai sisa dari masa lalu, saksi bisu dari dinasti yang pernah berjaya. Sebuah tempat yang tak sekadar taman, melainkan ruang kontemplatif bagi mereka yang ingin menyelami ketenangan yang dalam.
Jejak Raja, Napas Arsitektur, dan Ruang Peristirahatan
Taman Ujung dibangun pada tahun 1909 oleh Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem, raja terakhir dari kerajaan Karangasem. Ia mendambakan tempat peristirahatan—bukan hanya bagi tubuh, tapi juga bagi batin. Taman ini kemudian menjadi ruang pribadi keluarga kerajaan, tempat untuk menepi dari politik, keramaian, dan dunia yang selalu bergerak.
Arsitektur taman merupakan perpaduan harmoni antara tiga budaya: Bali, Eropa, dan Tiongkok. Pilar-pilar tinggi bergaya kolonial berdiri bersandingan dengan gerbang khas Bali dan ornamen oriental. Di tengah kolam terdapat bangunan utama yang mengambang seolah-olah di atas air. Bangunan ini menjadi pusat dari taman, tempat raja dan tamu-tamunya menikmati sore yang perlahan menguap.
Taman, Kolam, dan Bukit yang Menyaksikan Tangga Waktu
Taman ini bukan sekadar lanskap—ia adalah puisi dalam bentuk ruang. Di sekeliling kolam terdapat jalan setapak yang membawa pengunjung mengelilingi keheningan. Setiap sudut terasa seperti lukisan. Setiap pantulan langit di air adalah fragmen dari kisah yang dulu hidup di sini.
Naiklah ke bukit kecil di ujung taman, dan mata akan dimanjakan oleh panorama yang tak sederhana: pegunungan yang memeluk dari belakang, laut yang terhampar di kejauhan, dan taman yang tenang di bawah sana. Tempat ini seolah berdiri di antara dua dunia—antara yang fana dan yang kekal.
Gunung pernah memuntahkan murkanya, Gempa pernah mengoyak tubuhnya. Namun taman ini tak pergi, Ia tetap ada, menyimpan serpihan raja dalam hening.
Taman Ujung sempat porak-poranda akibat letusan Gunung Agung tahun 1963, disusul gempa bumi besar tahun 1979. Banyak bagian dari taman ini runtuh, menjadi reruntuhan dari kejayaan masa silam. Namun tak seperti bangunan lain yang dibiarkan terlupakan, taman ini bangkit kembali melalui pemugaran yang penuh cinta.
Kini, ia kembali berdiri. Bukan sebagai simbol kekuasaan, melainkan sebagai warisan rasa—rasa hormat pada masa lalu, rasa syukur atas ketenangan, dan rasa ingin kembali kepada sesuatu yang lebih sederhana.
Taman Ujung Karangasem bukanlah tempat yang ramai dikunjungi. Tapi justru di situlah letak keindahannya. Ia tak berteriak agar dilihat, tak memaksa untuk disukai. Ia hanya diam—dan dalam diamnya, kita belajar mendengar lagi. Mendengar suara air yang jatuh perlahan, langkah kaki di atas batu tua, atau desir angin yang membawa cerita raja-raja yang pernah ada.
Bagi siapa pun yang merindukan kedamaian dalam bentuk yang paling jujur, Taman Ujung adalah rumah yang menunggu untuk dikunjungi—sekali, atau berkali-kali.
Jika suatu hari kau lelah dikejar dunia, Datanglah ke Taman Ujung, dan duduklah sebentar. Di sana, waktu tak akan mendesak, Ia hanya akan duduk bersamamu, mendengarkan.
– Taman ujung karangasem –
Temukan promo hotel dan tiket pesawat murah untuk perjalananmu ke Taman Ujung Karangasem di Bali hanya di Seindo Travel. Dan selamat menyelami ruang ketenangan yang tidak terhingga di bekas peristirahatan sang raja terakhir Kerajaan Karangasem.